Selasa, 06 Januari 2015

ARAHAT MAHINDA

BAB I
PENDAHULUAN

“Pergilah kalian, demi kebaikan semua, demi kebahagiaan semua, demi manfaat, dan demi kesejahteraan semua, atas dasar belas kasih bagi dunia”.

Dalam kata-kata ini Sang Buddha memberi pesan kepada enam puluh Arahat pertama, dan melalui mereka untuk Sangha untuk sepanjang waktu. Mandat ini sepenuhnya dilakukan selama berabad-abad, dan dalam ketaatan untuk itu, Arahat Mahinda datang ke Sri Lanka.   

Ketika ditanya oleh Raja Tissa siapa mereka, Arahat menjawab,”Kami adalah samana, Oh Raja, Murid Raja Kebenaran. Atas dasar belas kasih padamu kami disini, kami berasal dari Jambudipa”. Pesan yang kami bawa adalah pesan dari Buddha Dhamma, jalan untuk pencapaian kebahagiaan waktu sekarang dan yang akan datang. Dari kebahagiaan yang bersifat sementara, menuju “Kebahagiaan tertinggi” keamanan tak tertandingi dari “Nibbana.”

Arahat Mahinda mengajarkan dhamma kepada raja Devanampiyatissa dan para pengikutnya. Raja dan rakyatnya sangat tertarik pada ajaran baru dan menerima ajaran Buddha. Ratusan sampai ribuan orang, baik laki-laki maupun perempuan menerima ajaran baru itu dan memasuki kehidupan Sangha sebagai bhikkhu maupun bhikkhuni. Banyak vihara didirikan untuk memberikan tempat perlindungan kepada mereka.

Ketika ratu Anula dan sejumlah wanita menginginkan menerima upasampada pabajja, karena waktu itu di Sri Lanka belum ada bhikkhuni sementara Vinaya melarang seorang bhikkhu mentasbihkan seorang bhikkhuni, maka kepada raja asoka dimohon dapat mengirimkan bhikkhuni untuk maksud tersebut dan bhikkhuni Sanghamitta dikirim ke Sri Lanka oleh ayahnya.

Dua peristiwa penting terjadi pada awal sejarah agama Budha di Sri Lanka adalah penanaman kembali cangkokan dahan pohon bodhi dari Bodhi Gaya dimana Sakyamuni Buddha memperoleh Penerangan Sempurna. Peristiwa yang kedua adalah dipindahkannya relik gigi Sang Buddha dari India ke Sri Lanka yang terjadi 500 tahun kemudian.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Kelahiran Mahinda

Ketika Pangeran Asoka dalam perjalanan menuju Ujjeni untuk memerintah di sana, ia berhenti di kota Vedisa di sana ia bertemu dengan seorang gadis bernama Devi, putri seorang pedagang. Ia jatuh cinta kepadanya dan menikahinya, dari pernikahan ini lahirlah seorang putra bernama Mahinda dan berselang dua tahun kemudian, seorang putri bernama Sanghamitta.

Sumber Pali menyebutkan bahwa Raja Asoka memiliki seorang putra bernama Mahinda dan putri bernama Sanghamitta, sedangkan sumber Sanskerta menyebut hanya seorang putra, yaitu Kunala. Berdasarkan salah satu prasastinya, Raja Asoka memiliki putra lain yang bernama Tivara.

B. Pangeran Mahinda dan Putri Sanghamitta Memasuki Sangha

Raja Asoka mendanakan 96 koti uang di 84 ribu kota untuk membangun vihara. Raja Asoka memerintahkan seluruh raja di India untuk membangun vihara, dan ia sendiri membangun vihara yang disebut Asokarama. Setelah vihara selesai dibangun, raja Asoka mengadakan perayaan besar. Raja sangat gembira saat melihat perayaan keagamaan yang besar dan bertanya kepada para bhikkhu, “Yang Mulia, kedermawanan siapakah dalam ajaran Bhagava yang pernah sebesar kedermawanan saya?”

Bhikkhu Tissa Moggaliputta menjawab, “Bahkan pada masa kehidupan Bhagava tidak ada pemberi yang dermawan seperti anda.”

“Jika demikian, apakah ada pewaris ajaran (sasanadayada) Buddha yang seperti saya?”

Sang bhikkhu melihat bahwa putra raja yang bernama Pangeran Mahinda dan putrinya bernama Putri Sanghamitta dapat menjadi Arahant dan memelihara ajaran Sang Buddha sehingga ia berkata, “Bahkan pemberi dana besar-besaran seperti anda bukan pewaris ajaran, O penguasa di antara manusia, namun hanya disebut pemberi dalam hal materi. Tetapi ia yang melepaskan putra atau putrinya untuk memasuki Sangha merupakan seorang pewaris ajaran dan melebihi seorang pemberi dana.”

Karena raja sangat ingin menjadi seorang pewaris ajaran, ia bertanya kepada Pangeran Mahinda dan Putri Sanghamitta yang berdiri di dekatnya: “Apakah kalian ingin menerima penahbisan, Anak-anak yang kusayangi? Penahbisan merupakan hal yang baik.”

Mereka menjawab, “Pada hari ini juga kami akan sangat senang untuk memasuki Sangha jika ayahanda menginginkannya. Bagi kami, bahkan bagi ayahanda, penahbisan kami akan mendatangkan berkah.”

Sejak Pangeran Tissa, adik Raja Asoka, melepaskan keduniawian dan menjadi bhikkhu, Pangeran Mahinda juga bertekad untuk menjadi bhikkhu, sedangkan Putri Sanghamitta bertekad menjadi bhikkhuni sejak suaminya, Aggibrahma, menjadi bhikkhu bersama dengan Pangeran Tissa. Walaupun raja menginginkan Pangeran Mahinda menjadi penerus tahta, namun sang pangeran berpikir bahwa kemuliaan menjadi bhikkhu akan jauh lebih besar daripada menjadi raja. Maka Raja Asoka mengizinkan Pangeran Mahinda dan Putri Sanghamitta memasuki kehidupan tanpa rumah. Saat ditahbiskan Pangeran Mahinda berusia dua puluh tahun dan Putri Sanghamitta berusia delapan belas tahun. Keduanya pun mencapai kesucian Arahat.

C. Persahabatan Raja Asoka dan Devanampiya Tissa

Pada masa pemerintahan Raja Asoka, Sri Lanka diperintah oleh seorang raja bernama Mutasiva yang kemudian digantikan oleh putranya, Tissa. Setelah menjadi raja, Tissa mengirimkan utusan yang membawa permata, batu-batu mulia, tiga jenis batang bambu, kulit kerang yang memutar spiral ke kanan, dan mutiara kepada Raja Asoka.

Utusan tersebut terdiri dari keponakan Raja Tissa bernama Maharittha atau Arittha yang merupakan perdana menteri kerajaan, seorang brahmana penasehat kerajaan, seorang menteri, dan seorang bendahara kerajaan. Dalam tujuh hari para utusan dari Sri Lanka tiba di Pataliputta dan menyerahkan pemberian dari raja mereka kepada Raja Asoka. Raja sangat gembira ketika menerima pemberian ini dan menganugerahkan gelar panglima tertinggi kerajaan (senapatti) kepada Maharittha, gelar penasehat kerajaan (purohita) kepada sang brahmana, gelar jenderal (dandanayaka) kepada sang menteri, dan gelar kepala saudagar (setthi) kepada sang bendahara.

Kemudian Raja Asoka mengirimkan pemberian balasan yang terdiri atas kipas, mahkota, pedang, payung, sepatu, ikat kepala, hiasan telinga, rantai, kendi, kayu cendana, pakaian, serbet, obat luka, tanah merah, air dari danau Anotatta, air dari sungai Gangga, kulit kerang, piring emas, tandu mewah, myrobalan, tanaman-tanaman obat, dan lain sebagainya. Selain itu, raja juga memberikan Dhammadana dengan mengirimkan pesan:

“Aku telah berlindung dalam Buddha, Dhamma, dan Sangha, aku telah menyatakan diriku sebagai pengikut awam dalam ajaran Sang Putra Sakya; berlindunglah, O yang terbaik di antara manusia, dengan hati yang yakin dalam permata yang paling berharga ini!” dan juga mengatakan kepada para utusan tersebut, “Nobatkan lagi sahabatku Tissa sebagai raja.”

Setelah tinggal selama lima bulan di Pataliputta, para utusan ini kembali ke Sri Lanka dan menyerahkan pemberian dari Raja Asoka serta menobatkan kembali Tissa sebagai raja sesuai dengan tradisi India 45. Setelah dinobatkan sesuai dengan tradisi India, Tissa memakai gelar Devanampiya sehingga ia kemudian dikenal sebagai Devanampiya Tissa.

D. Penyebaran Buddha Dhamma di Sri Lanka


Ketika Bhikkhu Mahinda ditugaskan untuk menyebarkan Buddha Dhamma ke Sri Lanka, ia melihat bahwa Raja Mutasiva saat itu sudah lanjut usia dan oleh sebab itu belum tepat waktunya untuk menyebarkan Dhamma ke sana. Maka, ia memutuskan untuk mengunjungi kerabatnya di Dakkhinagira bersama dengan empat bhikkhu lainnya dan Samanera Sumana, putra Sanghamitta. Selama enam bulan mereka mengajarkan Dhamma di Dakkhinagira.

Kemudian Bhikkhu Mahinda mengunjungi ibunya, Devi, di Vedisagiri dan mengajarkan Dhamma di sana. Anak dari saudara perempuan Devi yang bernama Bhanduka mencapai tingkat kesucian Anagami ketika mendengarkan Dhamma yang diberikan sang bhikkhu kepada ibunya. Satu bulan kemudian, setelah Devanampiya Tissa dinobatkan menjadi raja Sri Lanka, rombongan Bhikkhu Mahinda ditambah dengan upasaka Bhanduka pergi dengan terbang di udara ke Missakapabbata (Mihintale) di Sri Lanka.

Saat itu Raja Devanampiya Tissa sedang bersenang-senang bersama empat puluh ribu pengikutnya di Missakapabbata dalam suatu perayaan. Melihat seekor rusa jantan yang tak lain adalah dewa yang menyamar, raja mengejar rusa tersebut hingga akhirnya ia bertemu dengan Bhikkhu Mahinda. Kemudian sang thera mengajarkan Culahatthipadopama Sutta 46 kepada raja dan para pengikutnya. Pada akhir pembabaran Dhamma ini, raja dan para pengikutnya mengambil Tiga Perlindungan.

Setelah raja kembali ke kota dan berjanji akan mengundang para bhikkhu tersebut keesokan harinya ke istana. Bhikkhu Mahinda memerintahkan Samanera Sumana untuk mengumumkan ke seluruh Sri Lanka bahwa waktu mendengarkan Dhamma telah tiba dengan kekuatan batinnya. Pengumuman ini terdengar sampai ke alam brahma sehingga para dewa dari berbagai alam datang berkumpul. Bhikkhu Mahinda kemudian menguraikan Samacitta Sutta kepada perkumpulan dewa tersebut. Sutta ini pertama kali dikotbahkan oleh Bhikkhu Sariputta kepada perkumpulan dewa yang datang mengunjunginya.

Keesokan harinya di istana sang thera menguraikan Petavatthu, Vimanavatthu, dan Sacca Samyutta kepada Ratu Anula, adik ipar Raja Devanampiya Tissa, dan lima ratus wanita lainnya. Para wanita tersebut akhirnya mencapai tingkat kesucian Sotapanna.

Sang thera juga menguraikan Devaduta Sutta kepada para penduduk kota dan menyebabkan seribu orang di antara mereka mencapai tingkat Sotapanna. Penjelasaan Dhamma yang begitu terperinci sangat berkesan sehingga semua yang mendengarkan menjadi yakin akan ajaran Sang Tathagata. Bhikkhu Mahinda mendirikan Sangha dan Sasana yang akhirnya menjadi pusat keagamaan didunia.

Setelah beberapa waktu Raja Devanampiya Tissa berniat membangun stupa untuk menyimpan relik Sang Buddha. Bhikkhu Mahinda mengirim Samanera Sumana kembali ke Pataliputta untuk meminta semangkuk penuh relik Sang Buddha dari Raja Asoka. Setelah mendapatkan relik dari Raja Asoka, sang samanera pergi menemui Sakka, raja para dewa, untuk meminta relik tulang selangka kanan dari cetiya Culamani di surga Tavatimsa dan sang dewa memberikannya. Relik-relik ini kemudian disemayamkan di sebuah stupa yang dikenal dengan nama Thuparama.

Relik Sang Buddha diperoleh dari raja Asoka dan disimpan di Thuparama Dagoba yang merupakan bangunan pertama kali di kota suci Anuradhapura. Persembahan taman Maha Meghavana kepada anggota Sangha oleh raja adalah salah satu kejadian yang sangat penting, dimana di bangun Mahavihara dan pusat pendidikan agama Buddha. Para alumi dan sarjana yang sudah di didik di kirim menjadi Dhammaduta baik laki- laki maupun perempuan ke beberapa Negara Asia untuk menyebarkan agama Buddha. Pada hari itu juga orang- orang Burma, Thailand, Kamboja, Laos mengakui sangat berhutang budi pada pelayanan yang di berikan oleh para Dhammmaduta dari Sri Lanka. Seperti yang dikemukakan di atas kitab-kitab Pali terpelihara secara lengkap dan baik di pulau ini. Dari Sri Lanka, agama Buddha menyebar ke Burma, Kamboja, Siam, Laos sebagai agama Buddha Theravada. Sri Lanka bukan bersifat pasif sebagai penerima agama Buddha, melainkan juga aktif dengan menyumbangkan perkembangan agama Buddha melalui kitab-kitab atthakatha (komentar).

Kitab-kitab atthakatha (komentar) yang ditulis dalam bahasa Sinhala itu mempunyai nilai sangat penting. Hal ini terlihat dari banyaknya bhikkhu dari daratan India ke Sri Lanka pada abad-abad awal Masehi untuk mempelajarinya. Salah satu cerdik cendekia yang sekaligus filsuf Theravada yang menerjemahkan athakatha dari bahasa Sinhala ke dalam bahasa Magadhi (Pali) adalah Acarya Buddhagosa yang hidup pada abad 5 Masehi. Pada waktu itu agama Buddha dalam tradisi Pali sudah mulai surut popularitasnya. Banyak Acarya dan filsuf Theravada yang menuliskan karya-karya mereka dalam bahasa Sansekerta, misalnya Asvaghosa (abad pertama Masehi), Nagarjuna, Vasubandhu dan Dinnaga.

Meskipun kitab-kitab komentar (atthakatha) ditulis dalam bahasa Sinhala, namun bahasa Pali tetap merupakan bahasa agama Buddha di Sri Lanka. Pada abad ke-5 tersebut, di mana Buddhaghosa ditahbiskan sebagai bhikkhu di Bodhgaya oleh Mahasthavira Revata tetap perperangan teguh pada bahasa Pali.

E. Tradisi Theravada di Sri Lanka


Pulau Sri Lanka, dari ujung selatan India, memiliki luas sekitar 25.000 mil persegi dan berpenduduk tiga belas juta orang, di masa lalu, telah disebut Tambapanni, Sinhala, Lanka-Dhipa, dan Ceylon. Agama Buddha Theravada dipraktekkan oleh banyak penduduk, tradisi juga diikuti oleh Thailand, Burma, Laos, dan Kamboja.

Buddhisme pertama kali di bawa ke Sri Lanka oleh putra raja Asoka, Mahinda. empat biarawan lainnya, dan pelayan Mahinda. Raja Sri Lanka, Devanampiya Tissa, memiliki sebuah bangunan candi di ibukota Anuradhapura untuk Mahinda dan para pengikutnya untuk berlatih disana. Candi itu kemudian disebut Mahavihara dan menjadi pusat untuk sekte Mahaviharavasin di Sri Lanka. Cetiyapabbatavihara dibangun di Mihintaie, yang mana pertama kali Mahinda telah tiba. Adik Mahinda, bhikkhuni Sanghamitta, juga pergi ke Sri Lanka. Dia membawa ranting dari pohon Bodhi dan mendirikan Sangha Bhikkhuni di pulau tersebut. Buddhisme kemudian berkembang di Sri Lanka, dengan banyak bhikkhu dan bhikkhuni bergabung dengan ketertiban dan dengan dukungan kontribusi kekaisaran untuk pembangunan vihara-vihara.

Pembangunan vihara Abhayagiri di abad pertama SM sangat penting, karena Vihara ini menjadi dasar untuk kedua sekte utama Buddha Theravada di Sri Lanka. Perjuangan antara bhikkhu dari vihara Abhayagiri dan para bhikkhu dari Mahavihara terus mempengaruhi sejarah agama Sri Lanka untuk beberapa abad selanjutnya. Pada tahun 44 SM, Vattagamani Abhaya menjadi raja Sri Lanka. Namun, ia terpaksa melarikan diri tak lama kemudian oleh Tamil. Lima belas tahun kemudian ia disempurnakan tahta dan memerintah selama dua belas tahun (29-17 SM). Pada tahun 29 SM, ia memiliki bangunan vhiara Abhayagiri dan disajikan untuk Mahatissa tertua-siapa bhikkhu Mahavihara sebelumnya diusir dari biara mereka. Ketika Mahatissa pergi untuk tinggal di vihara Abhayagiri, ia didampingi oleh sejumlah bhikkhu dari Mahavihara, sehingga mengarah ke perpecahan antara kedua kelompok.

Selama pemerintahan Vattagamani Abhaya, kanon Buddhis, yang secara tradisional telah ditularkan melalui menghafal dan pembacaan, akhirnya ditulis. Lima ratus bhikkhu dari sekte Mahavihara berpartisipasi dalam sesi penyalinan. Mereka tidak menerima bantuan dari raja karena ia mendukung sekte Abhayagiri. Para bhikkhu akan membacakan karya-karya mereka telah hafal dan bhikkhu lain kemudian akan memverifikasi akurasi mereka. Selanjutnya, bacaan diedit dan dituliskan. Pada saat ini, kanon terdiri dari Tripitaka (sutra, vinaya, dan Abhidharma) dan komentar. Keputusan untuk menempatkan kanon ke dalam bentuk tulisan merupakan langkah besar dalam mencapai formulasi yang pasti isinya.

Sementara itu, sekte Abhayagiri telah menyambut Sekolah Vajjiputtaka tertua di India bernama Dhammaruci dan murid-muridnya ke vihara mereka. Sekte Abhayagiri akibatnya kadang-kadang dikenal sebagai sekte Dhammaruci. Selama tahun berikutnya, sekte Abhayagiri memelihara hubungan erat dengan India Buddha dan mengadopsi banyak ajaran baru dari India. Sebaliknya, sekte Mahavihara sepenuhnya mempertahankan tradisi Buddhis Theravada sampai hari ini.

Selama pemerintahan Voharika Tissa (269-291) sejumlah India penganut Vetultavada sekte Mahayana Buddhisme datang ke Sri Lanka dan diizinkan untuk tinggal di Vihara Abhayagiri oleh para bhikkhu, tapi raja cepat mengusir para bhikkhu India dari Sri Lanka. Bhikkhu Vetullavada kemudian menegaskan kembali pengaruhnya di Vihara Ahhayagiri. Sebagai protes, sekelompok bhikkhu dari Abhayagiri meninggalkan vihara dan mendirikan sebuah sekte ketiga di Dakkhipagiri selama pemerintahan Gothabhaya (309-322). Kelompok ini, yang dikenal sebagai sekte Sagaliya, adalah terkait dengan vihara Jetavan. Raja Gothabhaya memiliki enam puluh bhikkhu Vetullavada ditangkap, diusir dari urutan, dan dideportasi ke India. Kemudian, Raja Mahasena (334-361) menekan sekte Mahavihara, yang mana kemudian memasuki masa penurunan panjang. Sekte Abhayagiri, sebaliknya, makmur Selama pemerintahan Siri Meghavanna (362-409) peninggalan Buddha, salah satu giginya, dibawa ke Sri Lanka dari Kalinga di India dan diabadikan dalam vihara Abhayagiri. Pada abad kelima masa pemerintahan Mahanarna (409-431), yang komentator besar Buddhaghosa datang ke Sri Lanka. Dia tinggal di Mahavihara, di mana ia menulis komentar pada Tripitaka dan eksposisi umum tentang doktrin dan praktek Buddhis. Menurut Culavamsa (37: 215-246), Buddhaghosa adalah seorang Brahman yang berasal dari sekitar tempat Buddha mencapai pencerahan di India tengah. Menurut sumber-sumber Burma, ia adalah penduduk asli Thaton, Burma, yang bepergian ke Sri Lanka 943 tahun setelah Buddha wafat pada masa pemerintahan Raja Mahanarna. Beasiswa baru-baru ini telah mengungkapkan bahwa Buddhaghosa mungkin berasal dari India Selatan. Apapun hal mungkin, dapat dipastikan bahwa Buddhaghosa memang datang ke Sri Lanka dari negara asing, tinggal di Mahavihara, dan di dukung tradisi Mahavihara. Selain itu, ia menulis Visuddhimagga (Jalur Pemurnian) dan bagian dari komentar rinci tentang kanon Buddha berdasarkan karya yang lebih tua di tradisi Theravada. Menurut beberapa sumber, dia menerjemahkan komentar Sinhala lama ke Pali. Setelah ia menyelesaikan tulisannya, ia kembali ke negara asalnya. Formulasi Buddhaghosa dari doktrin Theravada tetap standar yang sampai saat ini.

Persaingan antara Mahavihara dan sekte Abhayagiri berlangsung selama berabad-abad. Secara umum, banyak penguasa tampaknya telah didukung sekte Abhayagiri. Sekte Mahavihara, bagaimanapun, berhasil mengalami banyak kesulitan dan melestarikan bentuk murni dari doktrin Theravada dan disiplin monastik. Selama paruh pertama abad kedelapan, Mahayana dan Esoterik Buddhisme dipraktekkan di Sri Lanka. Dua dari para bhikkhu yang bertanggung jawab untuk menyebarkan agama Buddha Esoteric di China, Vajrabodhi dan Amoghavajra, mengunjungi pulau.

Pada paruh pertama abad kesebelas selama pemerintahan Mahinda V, ketika Sri Lanka diserang oleh dinasti Saivite Chola Selatan India, ibukota dan vihara-vihara Budha berkurang menjadi reruntuhan. Setelah setengah abad pertempuran, Raja Sri Lanka Vijayabahu I (1059-1113) memaksa Chola untuk meninggalkan pulau itu, dipulihkan monarki dan mengundang buddhisme tertua dari Burma untuk mengembalikan agama Buddha di Sri Lanka.

Pada abad kedua belas, Raja Parakkamabahu I (1153-1186) para bhikkhu dekaden di sekte Mahavihara, Abhayagiri, dan Jetavana dan dimurnikan agama Buddha tertua di Sri Lanka. Buddhisme Theravada ortodoks dari sekte Mahavihara selanjutnya mendapat dukungan pemerintah, dan sekte Abhayagiri benar-benar dilarang, tidak pernah mendapatkan timbal balik. Ini menandai berakhirnya sepuluh abad persaingan antar sekte. Sekte Mahavihara dan Tradisi Theravada ortodoks terus mendominasi Buddhisme Sri Lanka sampai hari ini.

Pada abad berikutnya, pulau diserbu oleh Chola, Portugis, Belanda, dan Inggris. Pada abad kedelapan belas, Raja Kittisiri Rajasitpha mengundang sepuluh bhikkhu dari Thailand untuk membantu memulihkan agama Buddha tertua. Kemudian bhikkhu , diundang ke Sri Lanka untuk memperkuat pesan. Hari ini Buddhism Sri Lanka dibagi menjadi sejumlah persaudaraan menelusuri asal-usul mereka ke misi ini dari Asia Tenggara. Persaudaraan utama ialah Siyam, Kalyani, Amarapura, dan Ramanna.

F. Penanaman Sri Maha Boddhi

Ketika Maha Mahinda telah menanam keyakinan di negeri ini dan terdapat Bhikkhu Sasana, muncul usaha dari kaum wanita untuk masuk kedalam persaudaraan para Bhikkhuni. Ratu Anula dan para wanita lainnya ingin ditahbiskan sebagai bhikkhuni, namun Bhikkhu Mahinda dan para bhikkhu lainnya tidak dapat menahbiskan mereka karena penahbisan bhikkhuni harus dilakukan oleh Sangha Bhikkhuni. Selain itu, Raja Devanampiya Tissa juga ingin menanam pohon Bodhi di ibukota Anuradhapura. Oleh sebab itu, Bhikkhu Mahinda meminta Raja Devanampiya Tissa mengirim pesan kepada Raja Asoka untuk mengundang Bhikkhuni Sanghamitta dan mendatangkan cabang dari pohon Bodhi.

Raja Devanampiya Tissa mengutus Arittha ke Pataliputta untuk melaksanakan tugas ini. Sesampainya di Pataliputta, Arittha dan rombongannya menemui Raja Asoka dan mengatakan tujuan kedatangan mereka. Raja Asoka sangat berat hati untuk melepaskan Bhikkhuni Sanghamitta, putrinya sendiri, apalagi setelah putranya, Bhikkhu Mahinda, dan cucunya, Samanera Sumana, telah meninggalkannya. Namun karena ini bertujuan untuk penyebaran Dhamma di Sri Lanka, Raja Asoka pun menyetujuinya.

Untuk masalah pohon Bodhi, atas saran menteri Mahadeva, raja bertanya kepada Sangha apakah cabang dari pohon Bodhi boleh dikirimkan ke Sri Lanka. Mewakili Sangha, Bhikkhu Tissa Moggaliputta menyetujui hal ini. Bersama dengan para pasukannya dan ditemani oleh perkumpulan bhikkhu, Raja Asoka pergi menuju Bodhi Gaya dengan membawa sebuah vas untuk menaruh cabang pohon Bodhi. Setelah menghormati pohon Bodhi dengan berbagai persembahan, mengelilinginya tiga kali dengan berputar ke kiri dan bernamaskara, raja dengan sungguh-sungguh berseru, “Jika pohon Bodhi yang agung ini harus pergi menuju Lankadipa (pulau Sri Lanka) dan jika saya benar-benar kokoh tak tergoyahkan dalam ajaran Buddha, maka cabang selatan pohon Bodhi agung terpotong dengan sendirinya dan jatuh ke dalam vas emas ini.”

Secara ajaib, cabang selatan pohon Bodhi terpotong dengan sendirinya dan jatuh ke dalam vas emas yang telah disediakan. Kemudian berbagai keajaiban terjadi di sekitar pohon Bodhi. Raja sangat gembira dengan keajaiban-keajaiban ini sehingga mengadakan penghormatan besar-besaran terhadap cabang pohon Bodhi tersebut selama berminggu-minggu. Setelah itu cabang pohon Bodhi tersebut dipercayakan kepada Bhikkhuni Sanghamitta dan para bhikkhuni lainnya untuk kemudian bersama-sama dibawa Arittha ke Sri Lanka.

Kepada Arittha, Raja Asoka berpesan, “Tiga kali aku telah menghormati pohon Bodhi dengan menganugerahkan gelar raja kepadanya. Demikian juga sahabatku Tissa harus menghormatinya dengan menganugerahkan gelar raja kepada pohon Bodhi.” Lalu Arittha dan Bhikkhuni Sanghamitta menaiki kapal yang berlayar ke Sri Lanka. Tetes air mata Raja Asoka mengalir keluar ketika ia memandang cabang pohon Bodhi yang perlahan-lahan menghilang dari garis cakrawala bersama dengan putrinya tercinta. Bahkan ia terus meratap sedih setelah kembali ke istana.

Selama perjalanan menuju Sri Lanka, gelombang laut yang berjarak satu yojana di sekeliling kapal menjadi tenang, bunga-bunga teratai yang memiliki lima warna bermekaran di mana-mana dan berbagai alunan alat musik bersenandung di udara. Para dewa memberikan berbagai persembahan kepada pohon Bodhi, namun para naga berusaha merebut pohon Bodhi dari tangan Bhikkhuni Sanghamitta. Sang bhikkhuni dengan kekuatan batinnya berubah wujud menjadi burung garuda yang ditakuti para naga. Kemudian para naga memohon agar pohon Bodhi dapat dibawa untuk dihormati di alam naga selama seminggu lalu dikembalikan kepada sang theri. Permohonan ini pun dikabulkan.

Memasuki kota dari gerbang utara, cabang pohon Bodhi dibawa melalui gerbang selatan ke tempat yang telah dipilih untuk penanamannya. Di hadapan Bhikkhu Mahinda, Bhikkhuni Sanghamitta, dan para bangsawan lainnya, Raja Devanampiya Tissa menanam pohon Bodhi pada petak yang telah ditentukan. Pohon tersebut ditanam dengan upacara yang megah di Taman Mahameghavana di Anuradhapura dan menerima penghormatan dari jutaan umat. Pohon ini juga merupakan pohon tertua yang tercatat di dunia. Anakan dari pohon ini telah ditanam di berbagai tempat di pulau dan beberapa juga ditanam di tanah asing.

Dalam hubungan ini, harus diingat bahwa penghormatan atau pemujaan apapun di bawah bayang-bayang pohon Bodhi, bukan untuk menghormati sebuah pohon yang merupakan benda mati. Hal ini dilakukan untuk menghormati apa yang mewakili pohon tersebut. Yakni Buddha tertinggi, yang mencapai pencerahan di bawah pohon Bodhi. Pohon itu melambangkan cara hidup pertapa Gotama hingga mencapai Pencerahan.

Pohon ini dikenal dalam bahasa Pali sebagai assattha, atau dalam bahasa latin disebut Ficus religiosa. Sejak pencerahan berlangsung di bawah pohon ini, kemudian dikenal sebagai Bodhi (di Sinhala ‘Bo’), yang berarti pencerahan. Oleh karena itu, secara harfiah pohon Bodhi berarti “Pohon Pencerahan” atau “Pohon Kebijaksanaan.”

Ratu Anula dan para wanita lainnya pun dapat ditahbiskan menjadi bhikkhuni di bawah Bhikkhuni Sanghamitta. Sangha Bhikkhuni berkembang dengan baik di negeri ini serta para Bhikkhuni Sinhala berlayar jauh ke Tiongkok dan mendirikan sangha Bhikkhuni di negeri itu. Sanghamitta memberikan upasampada tidak hanya kepada putri Anula dan anggota kerajaan serta kelompok masyarakat yang tertinggi, tetapi juga kepada seluruh lapisan masyarakat yang bergabung dalam sangha Bhikkhuni. Mengikuti jejak kaki Sang Buddha, memperlakukan kaum wanita dengan ketegangan dan kesopanan dan menunjukan kepada mereka jalan kedamaian, kemurnian, dan kesucian. Dengan seluruh kekuatannya Sanghamitta mengangkat derajat kehidupan kaum wanita menjadi lebih tinggi. Dengan kesetiaan, keberanian, dan tak putus-putusnya ia bekerja untuk meningkatkan moral, intelektual, dan spiritual kaum wanita dinegeri ini.

Demikianlah akhirnya Buddha Dhamma dapat berkembang di Sri Lanka lengkap dengan Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni-nya.

G. Jaya Sri Maha Bodhi (Pohon Bodhi)

Pohon tertua yang masih hidup (dari semua jenis) yang diketahui tanggal penanamannya: Jaya Sri Maha Bodhi, sebuah pohon Bodhi di Sri Lanka, dibawa oleh Sanghamitta adik dari Maha Mahinda dan ditanam pada tahun 288 SM.

Jaya Sri Maha Bodhi adalah pohon beringin sakral yang terdapat di Anuradhapura, Sri Lanka. Pohon tersebut merupakan anak pohon dari pohon Bodhi bersejarah dimana Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Pohon tersebut ditanam pada tahun 288 SM, dan merupakan pohon yang ditanam manusia yang paling tua di Bumi dengan tanggal penanaman yang diketahui.

Pohon tersebut ditanam di daerah tinggi sekitar 6,5 m (21,3 kaki) diatas tanah dan dikelilingi pagar. Pada saat ini, pohon tersebut adalah salah satu relik yang paling sakral dari umat Buddha di Sri Lanka dan dihormati oleh umat Buddha di seluruh dunia. Tembok yang mengelilingi sekitar pohon tersebut dibangun pada masa pemerintahan Raja Kirthi Sri Rajasingha, untuk melindunginya dari gajah liar yang ungkin dapat merusak pohon tersebut.

Pohon tersebut merupakan cabang pohon bagian selatan dari Pohon Sri Maha Bodhi di Bodhgaya di India dimana Buddha mencapai Pencerahan. Pada abad ke-3 SM, pohon beringin Buddha (Pohon Bodhi) dibawa ke Sri Lanka oleh Sanghamitta putri Raja Asoka dan pendiri Sangha Bhikkhuni di Sri Lanka. Pada tahun 249 SM, Sri Maha Bodhi ditanam di Taman Mahameghavana di Anuradhapura oleh Raja Devanampiyatissa.

H. Ratu Tissarakkha Berusaha Menghancurkan Pohon Bodhi

Pada tahun keduapuluh sembilan masa pemerintahan Raja Asoka, Ratu Asandhimitta meninggal dunia dan empat tahun kemudian Ratu Tissarakkha diangkat sebagai permaisuri utama. Pada masamasa ini Raja Asoka semakin taat melakukan penghormatan kepada pohon Bodhi hingga ia memerintahkan agar permata-permata yang terbaik dikirimkan untuk persembahan kepada pohon Bodhi. Namun Ratu Tissarakkha menyangka pohon Bodhi adalah wanita lain yang disukai oleh raja. Ia berpikir, “Walaupun aku adalah permaisuri utama di istana dan raja memuaskan kesenangannya bersama diriku, tetapi ia mengirimkan semua permata yang terbaik kepada wanita lain yang bernama Bodhi.”

Oleh sebab itu ia memanggil wanita Matanga yang terkenal sebagai ahli sihir untuk menghancurkan “Bodhi”, saingannya tersebut. Setelah diberikan sejumlah uang, wanita Matanga tersebut mengucapkan mantra-mantra lalu mengikatkan seutas benang pada pohon Bodhi; perlahan-lahan pohon Bodhi pun menjadi layu. Kabar bahwa pohon Bodhi layu dan mengering menyebabkan Raja Asoka jatuh pingsan. Setelah sadar, raja dengan terisak-isak berkata, “Ketika aku melihat raja pepohonan tersebut, aku tahu aku sedang melihat Sang Buddha itu sendiri. Jika itu pohon Sang Guru itu mati, aku juga pasti berakhir!”

Ketika melihat raja diliputi kesedihan, Ratu Tissarakkha berkata, “Yang Mulia, bahkan jika Bodhi benar-benar meninggal, bukankah masih ada aku yang dapat memberikan kesenangan kepada Baginda?”

“Wanita bodoh! Bodhi bukan wanita, melainkan pohon di mana Sang Bhagava mencapai Penerangan Sempurna yang tiada bandingnya.”

Akhirnya Ratu Tissarakkha menyadari kesalahannya. Ia memanggil kembali sang wanita Matanga dan menanyakan apakah mungkin untuk mengembalikan kondisi pohon Bodhi seperti semula. “Jika masih terdapat beberapa tanda kehidupan yang tersisa, aku dapat menghidupkannya kembali,” jawab wanita penyihir tersebut.

Kemudian wanita Matanga itu melepaskan ikatan benang disekeliling pohon Bodhi, menggali tanah di sekelilingnya, dan menyiraminya dengan seribu kendi susu setiap hari; setelah beberapa lama pohon Bodhi tumbuh seperti semula. Kabar ini membuat raja kembali bergembira.

I. Kematian Arahat Mahinda dan Sanghamitta

Dengan sifat kebajikannya yang maha suci, belas kasihan, berhati-hati, dan kebaktiannya terhadap agama, Sanghamitta Theri membuat dirinya dicintai oleh orang dinegeri ini. Seperti dengan saudaranya Maha Mahinda Beliau merupakan tokoh yang bersemangat dan sebuah figur seorang Arahat. Maha Mahinda dan Sanghamitta hidup lebih lama dari Raja Devanampiya selama empat puluh tahun.

Y.M. Mahinda meninggal tahun ke-8 dari pemerintahan Uttiya, adik pengganti raja Devanampiya, pada usia tua yaitu 80 tahun, ketika ia sedang menjalankan vassa disebuah cetiya sebuah gunung. Raja Uttiya menyelenggarakan upacara kremasi dengan sangat hormat dan hikmat. Sejumlah Stupa dibangun untuk relik, yang merupakan sisa-sisa dari badan jasmani Arahat Mahinda, salah satunya dari stupa itu dibangun di Mihintale dimana Maha Mahinda paling banyak menghabiskan waktunya disana. Y.A Sanghamitta Theri meninggal satu tahun kemudian pada usia 79 tahun, ketika ia tinggal di vihara yang penuh ketenangan (Hatthalhaka). Upacara kremasi dilakukan oleh raja Uttiya dengan penuh hormat dan hikmat di satu tempat tidak jauh dari pohon Bodhi. Disana dibangun sebuah monumen.

J. Sumber-sumber Sejarah Agama Buddha di Sri Lanka (Ceylon )

Sumber-sumber pokok sejarah agama Buddha di Ceylon terdiri dari:

a. Kitab-kitab agama

Kitab-kitab agama dalam bahasa Pali yang menyangkut Dhamma dan Vinaya serta kitab-kitab komentar (Atthakatha) mengungkapkan kehidupan Sangha. Meskipun kitab-kitab itu merupakan bukti bukti mengenai perkembangan kitab-kitan Pali pada awal perkembangan agama Buddha di India dan Ceylon, perlu diperhatikan bahwa kitab-kitab tersebut baru mempunyai bentuk yang lebih pasti ketika komentar kitab Tipitaka dalam bahasa Sinhala diterjemahkan ke dalam bahasa Pali (Magadhi) oleh Buddhaghosa pada abad kelima Masehi.

b. Maklumat raja Asoka

Maklumat-maklumat raja Asoka pada abad ketiga sebelum Masehi merupakan sumber sejarah yang memberikan informasi akurat untuk memperoleh gambaran keadaan sosial dan keagamaan di India. Latar belakang kebudayaan India tersebut akan melengkapi sejarah agama Buddha di Ceylon yang terjadi setelah pengiriman Dharmaduta dari Pataliputra ke Ceylon.

c. Inskripsi dari Ceylon

Catatan-catatan (tertulis) di Ceylon dijumpai setelah agama Buddha diperkenalkan ke negeri ini pada abad ketiga SM. Namun hanya merupakan tulisan ringkas yang dipahatkan pada dinding gua tempat tinggal para Bhikkhu, misalnya “Demikianlah gua dipersembahkan kepada Sangha”. Inskripsi lain yang juga dipahatkan pada batu mewartakan tentang tempat-tempat penyimpanan air (waduk), saluran, pajak air dan sarana-sarana lain untuk memelihara kehidupan para bhikkhu dan Vihara dijumpai pada abad pertama sebelum masehi.
Inskripsi yang lebih bernilai yang menyangkut bidang administrasi dari keviharaan dan pemerintahan lokal, hukum-hukum dan adat istiadat baru diperoleh setelah abad Sembilan Masehi.

d. Kitab-kitab Pali

Kitab Dipavamsa adalah kitab agama Buddha berbahasa Pali tertua di Ceylon. Bentuknya yang sekarang diduga berasal dari abad keempat Masehi yang kemudian ditulis Budhaghosa pada awal abad berikutnya. Kitab ini diawali dengan riwayat sang Buddha secara singkat dan kunjungan beliau ke Ceylon dan diakhiri dengan pemerintahan raja Mahasena pada abad ke-4 SM.
Menilik bahasa, gaya bahasa, tata bahasa dan pengulangan-pengulangan serta tidak adanya sistematika pada kitab Dvipavamsa, hal itu memberikan dugaan bahwa kitab ini bukan karya seseorang melainkan kumpulan dari hal-hal yang dikumpulkan pada waktu yang berlainan di Ceylon.

Kitab Mahavamsa

Bagian pertama kitab ini dihimpun oleh thera Mahanama yang hidup pada zaman pemerintahan Dighasandasenapti di Anuradhapura kira-kira abad kelima Masehi. Bagian kedua ditulis oleh thera Dhammakitti pada abad ketiga belas Masehi. 
Kitab ini didasarkan pada beberapa sumber. Mahavamsa mengatakan bahwa ada sebuah riwayat yang penuh dengan kesalahan seperti pengulangan dan uraian yang tidak perlu yang ditulis oleh leluhur. Kita tidak dapat menduga yang dimaksud oleh Mahavamsa mengingat kitab Dipavamsa bukanlah satu-satunya kitab yang bersumber pada sejarah.

Baik Dipavamsa maupun Mahavamsa bukanlah kitab sejarah Ceylon melainkan sejarah agama Buddha di Ceylon, yang merupakan bagian sejarah dari negeri ini. 
Mahavamsa Tika sebagai komentar dari kitab Mahavamsa tidak diketahui mengapa penulisnya member judul demikian pada kitab ini. Penulisnya yang tertulis dalam kitab adalah Vamsatthappakasini yang bergelar Padyapadoruvamsa-vannana, tetapi secara traditional ditulis oleh bhikkhu Mahanama.

e. Kitab-kitab komentar Pali

Komentar-komentar dalam bahasa Pali yang ditulis oleh Budhaghosa ketika berdiam di Mahavihara (Anuradha-pura) pada abad kelima Masehi merupakan sumber sejarah yang berharga untuk merekonstruksi sejarah agama Buddha di Ceylon dari abad 3-5 Masehi.

Oleh Budhaghosa (penulis komentar Tripitaka) dikatakan bahwa Tripitaka yang dibawa oleh Thera Mahinda ke pulau ini adalah dalam bahasa Sinhala dan kemudian ditulis dalam bahasa setempat untuk kepentingan rakyat Sinhala. Komentar Tripitaka dalam bahasa Sinhala dijumpai dalam Maha-Atthakatha dan Maha-Paecari serta Kurundi sekarang sudah tidak dijumpai lagi, namun ringkasannya dalam bahasa Sinhala terdapat di dalam kitab Dhampiya-Atuva-Gatapadaya.

f. Cerita-cerita Rakyat

Beberapa cerita rakyat yang mempunyai hubungan dengan agama Buddha antara lain:

- Sahassabatthu-Atthakatha

- Sahassvatthuppakarana

- Rasavahini

g. Lain-lain kitab dalam Pali maupun Sinhala

- Mahabodhivamsa, menceritakan tentang cangkokan dahan pohon Bodhi yang ditanam di Anuradhapura.

- Dathavamsa, sejarah tentang relik gigi sang Buddha.

- Nikayasangraha berisi sejarah singkat agama Buddha dari saat Mahaparinibbana higga pemerintahan raja Bhuvanaikabahu V (1360-1391) dari Ceylon.

- Pujavaliya, Rajavaliya, Rajaratnakaraya, Thupavamsa dan Dhatuvamsa.

K. Keadaan Sosial Budaya Sebelum Kedatangan Agama Buddha


Pada umumnya pusat-pusat pemukiman penduduk Ceylon sebelum kedatangan agama Buddha adalah kampong-kampung yang disebut “gama” dengan pemimpinnya “gamani”. 
Pandukabaya (377-307 SM) adalah seorang pemimpin yang mengembangkan Anuradhagama (didirikan oleh Anuradha, kakek Pandhukabaya) menjadi suatu “nagara” atau kota yang kemudian dikenal sebagai Anuradhapura. Kitab Mahavamsa tidak memberikan perbedaan tentang perbedaan Negara dan gamana. Anuradhapura sejak zaman Pandukhabaya selama dua belas abad menjadi ibukota dan pusat kegiatan pemerintahan Sri Lanka.

Di Ceylon agama Buddha aliran Theravada mengambil bentuk sistem religio sosial lengkap. Dari Ceylonlah pada abad ke-11 aliran Theravada pembaharu menyebar ke Asia Tenggara. Selain memiliki (mendekati) keaslian, sejarah agama Buddha aliran Theravada ini mengalami berbagai perjuangan menghadapi agama Hindu dan berbagai aliran dalam agama Buddha sendiri.

Pengaruh Mahayana demikian kuatnya pada abad ke-4 dan pada abad ke-8 berbagai aliran agama Buddha telah menjadi kekuatan yang cukup besar di pulau ini yang memberikan dampak untuk perkembangan Mantrayana di Ceylon seperti halnya di India dan China.

Di bawah pemerintahan raja Tamil dari India Selatan (abad 9-11), agama Buddha Sinhala tidak diberi kesempatan oleh agama Hindu dan Mantrayana untuk berkembang. Tiga kali dalam sejarah Ceylon, agama Buddha aliran Theravada harus diperbaharui oleh bhikkhu asing. Pertama abad 11, kedua abad 15 ketika bhikkhu Birma datang ke Ceylon, serta pada abad 18 ketika bhikkhu dari Thailand (Ayutis) datang untuk memperbaharui ajaran-ajaran yang ada.

Agama Buddha yang mengembangkan akarnya di Ceylon sejak datangnya bhikkhu Mahinda (putra raja Asoka) dengan enam orang siswanya. Mereka dikirim selaku dharmaduta dan berhasil menggerakan dan memperoleh dukungan dari raja Devanampiya Tissa dan banyak bangsawan memeluk agama Buddha. Pada masa pemerintahan raja Tissa vihara Mahavira dibangun sebagai lembaga dan pusat agama Buddha Theravada.

Setelah raja Tissa wafat (207 SM), Ceylon dikuasai dan diperintah oleh bangsa Tamil sampai munculnya keturunan raja Tissa, Dutthagamani (101-77 SM), berhasil menumbangkan kekuasaan raja Elara dari Tamil. Sejak itu hingga sekarang ini sebagai reaksi dari bangsa Tamil, di Ceylon terjadi persaingan antara agama Buddha nasionalisme Sinhala. Boleh jadi keadaan tersebut merupakan faktor yang mendorong keputusan untuk menuliskan Kitab Suci Tipitaka dalam bahasa Pali.

Pada sisi lain perkembangan agama Buddha yang terjadi di India telah sampai pula di Ceylon. Di bawah pemerintahan raja Vattagamani Abhaya (abad pertama sebelum Masehi) dibangun vihara Abhayagiri yang menjadi pusat gerakan kaum Mahayana di Ceylon. Kecenderungan yang beragam yang muncul dalam agama Buddha ini berlangsung dalam beberapa abad dan hal itu menimbulkan pertentangan dan pemberontakan. Salah satu pemberontakan yang muncul mendapat dukungan dari raja Mahasena (276-303).

Raja Meghavarna (putra raja Mahasena) membawa relic gigi sang Buddha ke Abhayagiri dan dijadikan benda keramat nasional.

Selain mengembangkan dan menuliskan kitab-kitab agama dalam bahasa Pali, ajaran Theravada adalah yang paling dikumandangkan oleh para siswa Buddhaghosa pada abad ke-5. Pembaharuan dalam agama Buddha secara politis terjadi pada abad 11 ketika raja Vijayabahu membentuk lembaga Sangharaja yang bertugas mengatur vihara-vihara di Ceylon dengan cara memperjelas peraturan-peraturan yang berlaku.

Pada masa pemerintahan raja Kittisiri Rajaseha (1747-1781), peraturan-peraturan tentang agama dan aliran (sekte) diperbaharui kembali oleh bhikkhu yang diundang dari Thailand. Kedatangan bhikkhu Burma dan Thailand yang berperan dalam pembaharuan agama Buddha telah mendorong sangha di Ceylon terbagi-bagi. Meskipun sangha-sangha tersebut tetap berpegang pada Tripitaka yang sama, namun masing-masing berbeda dalam menafsirkan dan melaksanakan Vinaya.

Aliran-aliran agama Buddha yang terdapat di Ceylon tersebut secara sosiologis dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

a) Siam Nikaya (berdiri abad 18), merupakan kelompok konservatif yang kebanyakan anggotanya berasal dari kalangan bangsawan.

b) Amarapura (berdiri abad 19) yang anggotanya berasal dari berbagai kalangan.

c) Ramanna, sebagai pecahan pembaharuan dari Siam Nikaya.



BAB III
PENUTUP

Maha Mahinda adalah putra Raja Asoka yang dipercayakan dengan misi menyebarkan Buddha Dharma menuju Sri Lanka. Mahinda bersama dengan saudarinya Sanghamitta sebagai anggota Sangha dan membuat raja Devanampiya Tissa bersama pengikutnya menganut agama Buddha. Maha Mahinda juga yang memerintahkan bhikkhuni Sanghamitta membawa cangkokan pohon Bodhi. Di hadapan Bhikkhu Mahinda, Bhikkhuni Sanghamitta, dan para bangsawan lainnya, Raja Devanampiya Tissa menanam pohon Bodhi pada petak yang telah ditentukan. Pohon tersebut ditanam dengan upacara yang megah di Taman Mahameghavana di Anuradhapura dan menerima penghormatan dari jutaan umat. Penanaman cangkokan pohon Bodhi dari Buddha Gaya yang masih hidup sampai saat ini sehingga merupakan pohon bersejarah yang tertua di dunia.

Ketika Maha Mahinda telah menanam keyakinan di negeri ini dan terdapat Bhikkhu Sasana, muncul usaha dari kaum wanita untuk masuk kedalam persaudaraan para Bhikkhuni. Ratu Anula dan para wanita lainnya ingin ditahbiskan sebagai bhikkhuni, namun Bhikkhu Mahinda dan para bhikkhu lainnya tidak dapat menahbiskan mereka karena penahbisan bhikkhuni harus dilakukan oleh Sangha Bhikkhuni. Selain itu, Raja Devanampiya Tissa juga ingin menanam pohon Bodhi di ibukota Anuradhapura. Oleh sebab itu, Bhikkhu Mahinda meminta Raja Devanampiya Tissa mengirim pesan kepada Raja Asoka untuk mengundang Bhikkhuni Sanghamitta dan mendatangkan cabang dari pohon Bodhi.

Sanghamitta memberikan upasampada tidak hanya kepada putri Anula dan anggota kerajaan serta kelompok masyarakat yang tertinggi, tetapi juga kepada seluruh lapisan masyarakat yang bergabung dalam sangha Bhikkhuni. Dengan seluruh kekuatannya Sanghamitta mengangkat derajat kehidupan kaum wanita menjadi lebih tinggi. Dengan kesetiaan, keberanian, dan tak putus-putusnya ia bekerja untuk meningkatkan moral, intelektual, dan spiritual kaum wanita dinegeri ini.

Demikianlah akhirnya Buddha Dhamma dapat berkembang di Sri Lanka lengkap dengan Sangha Bhikkhu dan Sangha Bhikkhuni-nya.

DAFTAR PUSTAKA
Akira, Hirakaya. 2007. A History of Indian Buddhism: From Sakyamuni to Early Mahayana. Delhi: Motilal Banarsidass Publisher
Ariyakumara. 2013. ASOKA. Dhammacitta Press
Thera, Piyadassi. 2010. The Story of Mahinda, Sanghamitta, and The Sri Maha Bodhi. Sri Lanka: Buddhist Publication Society
Tim Penyusun. 2003. MATERI KULIAH SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA. Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi
Widya, Dharma K. 2005. KOMPILASI ISTILAH BUDDHIS. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda


Tidak ada komentar:

Posting Komentar